JogjaEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Ramai isu atas keinginan sebagian kecil masyarakat Minangkabau baik yang ada di Sumatera Barat maupun yang ada di Perantauan tentang akan dirubahnya nama Provinsi Sumatera Barat [Sumbar] menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau [DIM] terus bergulir baik di group Whatsapp maupun media sosial lainnya.
Menurut Rajo Ameh dari Bumi Serumpun Sebalai atau juga dikenal Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengatakan sudah ratusan bahkan mungkin ribuan argumen telah digelontorkan dari kedua silang pendapat atas perubahan nama Provinsi Sumatera Barat [Sumbar] menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau [DIM],” demikian Rajo Ameh sapaan akrab dari Alizar Tanjung B.Sc Mi St. Rajo Ameh saat bincang-bincang dengan warga Minang Perantauan yang ada di Negeri Shabrina Leanor Belitung Timur.
Seperti kita ketahui, budaya Minangkabau yang kental dengan nilai Islam dan sistem matrilinealnya tampak kontras dengan budaya Mentawai yang masih memegang teguh kepercayaan animisme dan sistem patrilineal.
Masyarakat Minangkabau membangun Rumah Gadang sebagai simbol keluarga, sementara masyarakat Mentawai tinggal di rumah panjang bernama Uma yang dihuni bersama oleh beberapa keluarga besar.
Namun, di tengah perbedaan tersebut, keduanya tetap menunjukkan semangat hidup bersama dan gotong royong. Nilai adat menjadi pedoman hidup yang kuat bagi keduanya, meski dalam bentuk dan sistem yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa keragaman budaya Indonesia tidak hanya berbeda, tapi juga bersatu dalam semangat kearifan lokal.
Usulan perubahan nama Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau menuai berbagai respons dari masyarakat dan pengamat budaya.
Di satu sisi, nama tersebut dinilai sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya Minangkabau yang mendominasi wilayah daratan Sumatera Barat.

Namun di sisi lain, sejumlah pihak menilai bahwa langkah ini tidak mencerminkan keragaman budaya yang ada di provinsi tersebut.
Salah satu suara kritis datang dari tokoh adat Mentawai yang menilai bahwa perubahan nama tersebut berpotensi menghapus identitas budaya masyarakat Kepulauan Mentawai, yang secara kultural, geografis, dan spiritual memiliki perbedaan yang sangat mendalam dengan Minangkabau.
“Kami bukan bagian dari Minangkabau, dari segi bahasa, adat, maupun kepercayaan. Kami adalah Mentawai, dan kami ingin identitas kami tetap diakui,” ungkap Salomo Simatalu, seorang pemuka adat dari Siberut.
Sejumlah akademisi dari Universitas Andalas juga turut menyoroti isu ini. Dalam diskusi publik yang digelar beberapa waktu lalu, mereka menyebut bahwa perubahan nama tersebut perlu ditinjau secara hati-hati, terutama dari aspek konstitusional dan etno-demografis.
“Jika hanya dilihat dari dominasi budaya, kita bisa saja lupa bahwa Sumatera Barat juga rumah bagi masyarakat non-Minangkabau seperti Mentawai dan beberapa kelompok migran. Provinsi adalah entitas administratif, bukan etnis,” ujar Dr. Marzuki, pakar hukum tata negara.
Sementara itu, pihak yang mendukung perubahan nama menyatakan bahwa istilah “Daerah Istimewa Minangkabau” bukan untuk menyingkirkan kelompok lain, tetapi untuk menegaskan sistem sosial adat Minangkabau yang hingga kini masih dijalankan sebagai bagian dari kearifan lokal.
Namun perdebatan ini menegaskan pentingnya inklusivitas dalam penamaan wilayah, terutama di negara yang sangat majemuk seperti Indonesia. Identitas budaya memang layak dihargai, namun bukan berarti mengorbankan pengakuan terhadap budaya lain yang hidup dalam wilayah yang sama.
Masih menurut Rajo Ameh, mungkin relevansi dari perubahan nama Provinsi Sumatera Barat [Sumbar] menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau [DIM] dikarenakan beberapa alasan seperti berikut ini ;
Dominasi Budaya Minangkabau:
- Sebagian besar wilayah Sumatera Barat dihuni oleh masyarakat Minangkabau.
- Budaya, adat, arsitektur, sistem sosial, hingga filosofi hidup masyarakat di daratan Sumbar secara luas mencerminkan sistem nilai Minangkabau.
- Ungkapan seperti “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadi prinsip hidup yang membentuk hukum adat dan praktik sosial.
Sejarah dan Identitas:
- Minangkabau memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan, pendidikan, dan pergerakan nasional, menjadikan identitas ini sangat melekat pada Sumatera Barat.
- Nama “Minangkabau” dianggap lebih merepresentasikan sejarah sosial dan budaya mayoritas penduduk.
Penguatan Kekhususan Daerah:
- Mirip dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendapatkan pengakuan istimewa atas dasar sejarah dan budayanya, usulan nama ini juga bertujuan untuk mempertegas identitas budaya dan hukum adat Minangkabau sebagai sistem sosial yang masih dijalankan secara aktif.
Namun dibalik relevansi yang ada saat ini ; memang keberadaan masyarakat Minangkabau yang ada di Sumatera Barat merupakan masyarakat mayoritas, sedangkan masyarakat lainnya juga terdapat masyarakat Suku Mentawai yang mendiami kepulauan Mentawai dengan adat dan budaya serta beberapa perbedaan lainnya dengan kebiasaan masyarakat Minang pada umumnya ; termasuk suku-suku minoritas lainnya.
Diperkirakan berikut dampak dan perbedaan, jika nama Provinsi Sumatera Barat [Sumbar] dirubah menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau [DIM] diantaranya sebagai berikut ;
Masalah dan Ketidaksesuaian:
- Keberadaan Suku Mentawai dan Keragaman Etnis:
- Kepulauan Mentawai merupakan bagian resmi dari Provinsi Sumatera Barat tetapi tidak mewakili budaya Minangkabau.
- Masyarakat Mentawai memiliki sistem adat, bahasa, kepercayaan, dan cara hidup yang sangat berbeda—bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan matrilinealisme Minangkabau.
- Mengganti nama menjadi Daerah Istimewa Minangkabau berisiko mengaburkan atau mengesampingkan eksistensi dan hak budaya masyarakat Mentawai, yang selama ini telah berjuang untuk pengakuan budaya mereka sendiri.
Isu Representasi dan Inklusivitas:
- Nama “Minangkabau” bersifat etnis dan tidak mewakili semua suku atau kelompok budaya di provinsi tersebut.
- Ini berpotensi memicu sentimen eksklusivitas dan memperkuat asumsi bahwa hanya budaya Minangkabau yang diakui oleh negara dalam struktur pemerintahan provinsi.
Perspektif Konstitusional dan Otonomi Daerah:
- Perubahan nama ke bentuk “Daerah Istimewa” memerlukan landasan hukum yang kuat, termasuk alasan kekhususan administratif atau sejarah kerajaan tertentu.
- Tidak semua kekhasan budaya bisa langsung dijadikan alasan untuk penamaan “istimewa”, terutama jika mengabaikan prinsip multikulturalisme.
Dari berbagai informasi yang dikumpulkan, meskipun budaya Minangkabau mendominasi wilayah Sumatera Barat, penggantian nama menjadi “Daerah Istimewa Minangkabau” belum tentu relevan secara inklusif.
Langkah ini dapat dianggap mengabaikan keberagaman budaya, terutama masyarakat Mentawai yang memiliki identitas etnokultural tersendiri. Pengakuan atas kekhususan budaya Minangkabau tetap dapat diberikan, namun melalui kebijakan yang tidak mengurangi eksistensi dan representasi budaya lain dalam satu provinsi.
Kita semua tahu, keberadaan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Mentawai yang keduanya berada di wilayah administratif yang sama, yaitu Provinsi Sumatera Barat, budaya Minangkabau dan Mentawai memiliki perbedaan yang sangat signifikan, baik dari segi bahasa, sistem sosial, kepercayaan, hingga struktur masyarakat. Namun demikian, dalam beberapa hal juga ditemukan persamaan yang menarik untuk dicermati.
Berikut perbedaan dan persamaan keduanya ;
Perbedaan Budaya Minangkabau dan Mentawai
Aspek Budaya | Minangkabau | Mentawai |
---|---|---|
Sistem Kekerabatan | Matrilineal (garis keturunan dari ibu) | Patrilineal (garis keturunan dari ayah) |
Bahasa | Bahasa Minangkabau | Bahasa Mentawai |
Agama/Kepercayaan | Islam (hampir seluruhnya Muslim) | Animisme dan sebagian Kristen |
Struktur Sosial | Berbasis suku, nagari, dan adat matrilineal | Berbasis klan atau uma, dengan kepala suku yang dominan |
Ritual dan Upacara | Bernuansa Islam dan adat (contoh: batagak panghulu) | Upacara adat spiritual seperti punen, turuk laggai |
Pakaian Adat | Busana yang kaya warna dan simbol Islam | Penampilan sederhana, tato tradisional, dan pakaian dari kulit kayu |
Arsitektur Tradisional | Rumah Gadang (atap runcing menyerupai tanduk kerbau) | Uma (rumah panjang komunal, atap melengkung sederhana) |
Rincian perbedaan tersebut dalam hal :
- Sistem kekerabatan menjadi pembeda utama. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal yang unik, di mana warisan dan garis keturunan diturunkan melalui perempuan. Sebaliknya, masyarakat Mentawai menggunakan sistem patrilineal, di mana laki-laki menjadi garis pewaris utama.
- Kepercayaan juga sangat kontras. Budaya Minangkabau telah terislamisasi sejak abad ke-16 dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Sebaliknya, suku Mentawai masih memegang teguh kepercayaan animisme meskipun kini sebagian telah memeluk agama Kristen.
- Bahasa Minangkabau dan Mentawai tidak saling dipahami secara langsung karena berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Minang merupakan bagian dari kelompok Melayu, sedangkan bahasa Mentawai merupakan cabang dari rumpun Austronesia yang lebih arkais.
Untuk kesamaannya meliputi ;
Kesamaan Budaya Minangkabau dan Mentawai
Aspek Kesamaan | Penjelasan |
---|---|
Kehidupan Komunal | Kedua budaya sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan hidup dalam kelompok besar (nagari di Minang, uma di Mentawai). |
Gotong Royong | Kegiatan seperti membangun rumah, mengolah lahan, dan upacara adat dilakukan secara kolektif. |
Kearifan Lokal terhadap Alam | Baik Minangkabau maupun Mentawai memiliki sistem kearifan lokal dalam menjaga hutan, lahan, dan sungai sebagai sumber kehidupan. |
Seni dan Musik Tradisional | Keduanya memiliki kekayaan seni seperti tari dan musik tradisional, meskipun bentuk dan ekspresinya berbeda. |
Nilai Adat sebagai Panduan Hidup | Ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” di Minangkabau dan aturan adat uma di Mentawai menandakan bahwa keduanya menjadikan adat sebagai pondasi sosial. |
Rincian kesamaan yang dimaksud itu berupa ;
- Meskipun sistem adat berbeda, baik Minangkabau maupun Mentawai sangat menjunjung nilai adat sebagai hukum sosial tertinggi di masyarakat mereka.
- Gotong royong merupakan nilai penting dalam kehidupan keduanya, terutama dalam kegiatan pertanian, upacara adat, dan pembangunan rumah tradisional.
Semoga apa yang menjadikan diantara kita baik itu perbedaan maupun persamaan diantara keduanya ; kami berharap warga Sumatera Barat [Sumbar] yang ada sekarang dan/atau warga Daerah Istimewa Minangkabau [DIM] jika itu benar-benar terjadi perubahan, setidaknya tidak membuat ranah kita semakin kecil,” ungkap Rajo Ameh. | JogjaEkspress.Com | */Redaksi | *** |
1 Comment
semoga benar dikaji setiap perubahan