JogjaEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Keempat pulau sengketa antara Aceh dan Sumut—yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek)—tidak memiliki penduduk tetap, melainkan hanya digunakan sesekali oleh nelayan dari Aceh maupun Sumut sebagai tempat singgah atau beristirahat.
1. Status Hunian
- Pulau Panjang (47,8 ha): Tak berpenghuni secara permanen. Terdapat dermaga, rumah singgah, mushala, makam aulia, dan sejumlah pohon kelapa/mangrove—menunjukkan aktivitas kunjungan rutin nelayan, religi, atau lokal.
- Pulau Lipan (0,38 ha): Hampir tenggelam saat pasang, terdiri dari daratan pasir, tak ada penduduk, hanya dijadikan tempat singgah..
- Pulau Mangkir Kecil (6,15 ha): Tidak berpenghuni dan bebas aktivitas selain tugu batas.
- Pulau Mangkir Besar (8,16 ha): Sama—tidak dihuni, tanpa aktivitas, hanya ada tugu batas.
Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah menyatakan keempat pulau ini benar‐benar tanpa penduduk tetap, aktivitas hanya dikategorikan “singgah nelayan”.
2. Aktivitas dan Suku yang Terlibat
Walaupun tidak berpenghuni, pulau‐pulau ini kerap digunakan oleh nelayan dari dua provinsi. Mereka berasal dari:
- Aceh Singkil → mayoritas suku Aceh, dan kemungkinan Aneuk Jamee (keturunan Minangkabau yang tersebar di pesisir Aceh Singkil).
- Tapanuli Tengah (Sumut) → nelayan suku Batak Tapanuli, yang merupakan bagian dari masyarakat pesisir Sumut. .
Kedua kelompok inilah yang secara periodik singgah dan memanfaatkan pulau-pulau tersebut untuk istirahat atau ziarah (seperti di Pulau Panjang).
3. Ringkasan
Pulau | Penduduk Tetap | Aktivitas | Suku Nelayan yang Singgah |
Pulau Panjang | ❌ | Dermaga, mushala, makam, kelapa/mangrove | Aceh (Aceh/Aneuk Jamee), Batak Tapanuli |
Pulau Lipan | ❌ | Daratan pasir, sering tenggelam pasang | Aceh & Batak nelayan |
Pulau Mangkir Kecil | ❌ | Tugu batas, tidak ada aktivitas lain | — |
Pulau Mangkir Besar | ❌ | Tugu batas, kosong | — |
Jadi dapat kita simpulkan bahwa ke-empat pulau yang pernah disengketakan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ; adalah pulau yang penuh keterbatasan dalam hal fasilitas dan lain sebagainya, berikut kesimpulan dari ke-empat pulau tersebut ;
- Tidak ada penduduk tetap di keempat pulau.
- Hanya digunakan secara terbatas—umumnya oleh nelayan dan untuk kegiatan keagamaan atau ziarah.
- Nelayan berasal dari dua budaya pesisir berbeda, yaitu Aceh (termasuk Aneuk Jamee) dan Batak Tapanuli di Sumut.
Jadi, meskipun tidak berpenghuni, pulau-pulau ini tetap menjadi bagian penting dari tradisi dan mata pencaharian nelayan lokal dari kedua provinsi.
Keempat pulau sengketa—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil—tidak memiliki penambangan aktif, tetapi disebut memiliki potensi cadangan minyak dan gas (migas) di bawah perairannya. Berikut detailnya:

1. Potensi Migas
- Pulau-pulau ini berada dalam Wilayah Kerja Blok Offshore South West Aceh (OSWA), yang dibuka untuk eksplorasi sejak 2022.
- Kajian seismik awal (2024) memperkirakan masing-masing pulau dapat menyimpan sekitar 70–80 BCF gas bumi, total estimasi 280–320 BCF (8–9 miliar m³ gas).
- Kementerian ESDM melalui SKK Migas secara resmi memonitor potensi ini, namun belum ada kegiatan pengeboran.
2. Status Eksplorasi & Administratif
- Blok OSWA termasuk empat pulau tersebut dalam target survei seismik dan eksplorasi lanjutan (fase pengeboran mulai 2025).
- Peralihan administratif ke Sumatera Utara (SK Mendagri 25 April 2025) memicu dugaan motif ekonomi, karena pengelolaan migas wilayah tersebut tidak lagi tunduk pada pasal otonomi istimewa Aceh (bagian bagi hasil hingga 70 %).
3. Belum Ada Kegiatan Tambang Aktif
- Hingga kini, tidak ada pertambangan aktif di pulau-pulau tersebut; yang ada hanya penggunaan terbatas oleh nelayan dan fasilitas ziarah/mushalla.
- Pemerintah pusat (Kemendagri) menyatakan bahwa verifikasi administratif tidak mempertimbangkan potensi migas, dan kewenangan eksplorasi berada di ESDM/SKK Migas.
4. Analisis dan Konteks
- Potensi migas ini masih bersifat estimasi awal berdasarkan data seismik; belum diuji dengan pengeboran.
- Kepindahan administratif bisa memengaruhi hak kelola dan pembagian pendapatan: Aceh disebut berpotensi kehilangan bagian hingga 70% jika wilayah ini dikelola Sumut.
- Kesepakatan kolaborasi antara Aceh dan Sumut tengah dibahas, namun detail eksplorasi masih menunggu izin dari SKK Migas dan Dirjen Migas.
Ringkasan Potensi Tambang
Aspek | Status Saat Ini |
Potensi Migas | 70–80 BCF per pulau (total 280–320 BCF) menurut survei seismik awal |
Kegiatan Eksplorasi | Survei seismik, rencana pengeboran dimulai 2025; belum ada pengeboran nyata |
Kegiatan Penambangan | Tidak ada tambang aktif atau ekstraksi |
Regulasi & Administratif | Dipindahkan ke Sumut (Apr 2025), kontroversi karena berpotensi mengubah bagi hasil |
Pengelolaan Masa Depan | Sedang dibahas kerjasama Aceh–Sumut, bergantung pada hasil penelitian migas |
Dari ringkasan analisa potensi tambang tersebut, dapat disimpulkan bahwa ;
- Belum ada tambang aktif, hanya potensi besar migas berdasarkan estimasi gempa bawah tanah.
- Aktivitas belum lanjut ke pengeboran, masih dalam tahap survei dan rencana.
- Perubahan status administratif terkait kepentingan migas, meskipun pemerintah menyatakan prosedur berdasarkan verifikasi teknis.
- Ke depan, pembahasan eksplorasi dan pembagian hasil migas akan sangat penting—apakah Aceh tetap memperoleh bagi hasil istimewanya, atau dikelola oleh Sumut.
Dari Rakyat Aceh Terima Kasih Presiden Prabowo
Dikesempatan lain, Pemerintah sudah memutuskan sengketa 4 pulau antara Pemprov Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh. Presiden Prabowo Subianto memutuskan 4 pulau itu sah milik Aceh.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Mensesneg Prasetyo Hadi di kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/6/2025) lalu. Turut hadir Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mendagri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem dan Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem dalam konferensi pers tersebut turut menyampaikan ucapan terima kasih atas keputusan yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.
“Dari rakyat Aceh terima kasih kepada Bapak Presiden dan Bapak Mendagri Pak Tito, Wakil Ketua DPR RI Pak Dasco dan juga Mensesneg Pak Prasetyo dan Gubernur Sumatera Utara, mudah-mudahan tidak ada masalah lagi aman damai dan NKRI kita jaga bersama,” kata Mualem.
Selain itu, Mualem juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh rakyat Aceh yang telah berpartisipasi aktif dalam memberikan dukungan serta mengawal persoalan status kepemilikan 4 pulau tersebut. Ucapan terima kasih atas dukungan dan kolaborasi juga disampaikan orang nomor satu di Bumi Serambi Mekkah itu kepada Forbes DPR-DPD RI asal Aceh, alim ulama dan berbagai elemen masyarakat Aceh lainnya.
Mualem berharap, hubungan antara provinsi Aceh dan Sumut dapat terus terjalin dengan baik dan rukun. Ia yakin keputusan Presiden tersebut merupakan keputusan yang bijak hingga tidak merugikan pihak manapun.
Sebelumnya Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan berdasarkan dokumen dan data pendukung telah diambil keputusan. Pemerintah mengambil keputusan 4 pulau tersebut sah milik Pemprov Aceh.
“Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen data pendukung, kemudian tadi Bapak Presiden telah memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan kepada dasar-dasar dokumen yang dimiliki telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, kemudian Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek secara administrasi berdasarkan dokumen adalah masuk wilayah administrasi Aceh,” ujarnya. | JogjaEkspress.Com | AcehProv | *** |
1 Comment
oke